Editorial Oleh: Y. Tabaika- Pimred
Pemungutan Suara Ulang (PSU) Pilkada Pulau Taliabu yang telah diselenggarakan dengan anggaran daerah mencapai lebih dari Rp5 miliar, kini kembali menjadi sorotan. Pasca pleno rekapitulasi yang menyatakan Paslon SAYA TALIABU meraih suara terbanyak secara akumulatif, muncul penolakan dari Paslon 02, CPM–UTU, terhadap hasil tersebut.
Penolakan ini memunculkan tanda tanya publik. Apakah proses demokrasi yang telah difasilitasi dengan biaya besar dari APBD akan kembali diputar ulang? Jika demikian, apakah anggaran daerah akan kembali terkuras untuk pembiayaan pemilihan ulang berikutnya?
Sebagaimana diketahui, dana hibah PSU yang telah dikucurkan Pemkab Taliabu terdiri dari Rp2,69 miliar untuk KPU, Rp1,5 miliar untuk Polri, Rp550 juta untuk TNI, serta tambahan Rp500 juta untuk Bawaslu. Totalnya melampaui Rp5,2 miliar. Dana yang tidak kecil bagi sebuah daerah kepulauan dengan kebutuhan pembangunan yang masih mendesak di berbagai sektor.
Publik tentu berhak mempertanyakan, sejauh mana efektivitas penggunaan anggaran tersebut apabila hasil PSU yang telah sah secara hukum masih terus disengketakan. Apalagi, putusan rekapitulasi telah diumumkan secara resmi dan terbuka oleh KPU.
Paraduga terhadap adanya kepentingan di balik penolakan hasil sah bukan tidak mungkin muncul. Di tengah tuntutan demokrasi yang jujur dan adil, masyarakat juga berharap adanya sikap kenegarawanan untuk menerima hasil, sejauh proses telah dijalankan sesuai aturan.
Jika PSU kembali digelar, bukan hanya anggaran daerah yang terdampak. Kepercayaan publik terhadap proses demokrasi pun berpotensi terkikis. Maka, kehati-hatian, keterbukaan informasi, dan kedewasaan politik menjadi kebutuhan mendesak agar daerah tidak terus-menerus dirugikan oleh tarik-menarik kepentingan pascapilkada.