Maumere: Kisah Kota Kecil dengan Masalah Kekerasan Seksual yang Menggema

  • Bagikan



Kabar Atang


,


Jakarta



Maumere
Kabupaten Sikka yang merupakan ibu kotanya di Provinsi Nusa Tenggara Timur sekali lagi mendapat perhatian karena jumlah kasusnya yang meninggi.
kekerasan seksual
Dalam beberapa bulan belakangan ini, dua gadis remaja berumur 15 tahun telah menjadi korban pelecehan seksual yang dicurigai menyangkut pihak kepolisian.

Ajun Inspektur Dua Ihwanudin Ibrahim dari Polres Sikka dicurigai telah melakukan pelecehan seksual kepada dua gadis muda berumur 15 tahun. Skandal ini menjadi publik ketika salah seorang korban bernama AFN, yang diyakini memiliki luka emosional parah, diketemukan meninggal karena bunuh diri di bulan November 2024. Di sisi lain, korban kedua dengan inisial KZN sampai saat ini masih merasa kurang dilindungi dan disinyalir menghadapi stres besar akibar insiden tersebut.

Pemimpin Tim Relawan untuk Kemanusiaan Flores (TRUKF), Suster Fransiska Imakulata, mengekspresikan ketidakpuasannya atas cara penyelesaian masalah tersebut. Menurutnya, usaha yang dilakukan untuk meneruskan kasus ini dalam bidang hukuman telah tersendat karena tumpukan prosedural dan minimnya respon dari petugas penegak peraturan. “Sudah kami coba buat laporannya namun selalu ditemui alasan baru oleh polisi,” ungkap Fransiska kepada media.
Tempo
ketika dihubungi pada hari Rabu, 9 April 2025.

Kondisi saat ini memperpanjang deretan serangkaian insiden pelecehan seksual terhadap anak-anak di wilayah Nusa Tenggara Timur (NTT). “Maumere adalah kota kecil namun dipadati oleh tindakan jahat yang sangat mengkhawatirkan,” ungkapnya dengan nada kesedihan.

Menurut Fransiska, di daerah tersebut terdapat lima kasus kekerasan seksual dalam keluarga dari awal bulan Januari sampai sekarang. Dia menjelaskan bahwa orang-orang terdekat seringkali menjadi pelaku, misalkan paman merawat dan menganiaya anak saudaranya atau ayah melakukan hal sama kepada putrinya. Bahkan, beberapa dari para pelaku ini bekerja sebagai guru.

Merumuskannya sebagai kesulitan dalam melengkapi laporan kriminal tentang Aipda Ihwanudin, Fransiska mengatakan bahwa masalah ini sangat kompleks karena sang tersangka adalah seorang aparatur penegak hukum sendiri. Menurutnya, bila pelaku bukan dari kalangan kepolisian, pihak berwajib pasti akan bertindak lebih sigap untuk menahankanya. Namun situasinya menjadi lain ketika yang bersalah tersebut ternyata anggota kepolisian.

“Maka aturan tersebut tumpul di bagian atas tetapi sangat menusuk dari arah bawah bagi pihak tertentu. Saya merasa ingin mengatakan bahwa hal ini membuat bosan, namun kita dilarang menyampaikan ketidaksenangan karena ini adalah sebuah pertarungan yang tak akan berakhir,” ungkapnya.

Menurut Fransiska, hal yang memprihatinkan adalah bahwa pelaku tindakan kekerasan seksual ternyata bukanlah mereka yang tak paham hukum, melainkan individu-individu terdidik. Dia menekankan, “Oleh karena itu, baik petugas polisi maupun anggota keluarga inti—yang biasanya merupakan lingkar-ligaar tempat kita merasa aman dan nyaman bagi pertumbuhan anak-anak dalam keluarga atau saat belajar di sekolah serta melakukan aktivitas lainnya.”

banner 120x600
  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *